Metoda Pengambilan Contoh Air Limbah Menurut SNI 6989.59:2008

Sabtu, 17 Oktober 2020

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 tahun 1999 (Perubahan PP No. 18 tahun 1999) Limbah merupakan sisa/buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. 

Limbah dapat menimbulkan dampak negatif apabila jumlah / konsentrasinya di lingkungan telah melebihi baku mutu. Jenis limbah bedasarkan wujudnya dibagi menjadi tiga yaitu: limbah cair, limbah padat, dan limbah gas. Jenis limbah yang akan dibahas disini adalah limbah cair. Limbah cair merupakan segala jenis limbah yang berwujud cairan, berupa air beserta bahan-bahan buangan lain yang tercampur (tersuspensi) maupun terlarut dalam air. Teknik sampling limbah cair berdasarkan acuan SNI 6989.59.2008 dijabarkan dalam peta konsep sebagai berkut:

Peta Konsep Teknik Sampling Limbah Cair Berdasarkan Acuan SNI 6989.59:2008


Sub Peta Konsep Alat Pengambil Sampel

Sub Peta Konsep Lokasi dan Titik Pengambilan

Sub Peta Konsep Waktu Pengujian




Review Jurnal Pengolahan Limbah

 A. Pendahuluan       

Industri gula merupakan kegiatan pengolahan tebu menjadi gula beserta turunannya yang digunakan sebagai konsumsi dan pakan. Dalam pengolahan tebu menjadi gula pasti menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Limbah cair yang dihasilkan dari industri gula dapat berasal dari boiler, kondensor dan sisa pencucian proses, evaporator, buangan ketel dan peralatan lain, kegiatan pembersihan lantai pabrik, tumpahan nira, tetes dan lain-lain. Blog ini akan membahas mengenai “Efektifitas Kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Gula di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Sidoarjo dalam Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 20, No. 2.

 

Karakteristik limbah cair di PG. Kediri dan PG. Sidoarjo memiliki nilai BOD antara 200 sampai 320 mg/L melebihi ambang batas maksimal BMAL sebesar 60 mg/L, COD antara 540 sampai 1200 mg/L melebihi ambang batas maksimum BMAL sebesar 100 mg/L dan TSS anatara 80 sampai 314 mg/L melebihi ambang batas BMAL sebesar 50 mg/L. Berbeda dengan nilai pH air limbah yang dihasilkan oleh kedua industri gula telah memenuhi BMAL yaitu antara 6 sampai 9. Tingginya nilai COD, BOD dan TSS juga dipengaruhi oleh kapasitas produksi. Tahun 2016 PG. Kediri dan PG. Sidoarjo memiliki kapasitas produksi lebih tinggi dari tahun 2017, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap karakteristik limbah cair yang dihasilkan (Rhofita, 2019).

 

B. Analisis BOD

BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Atima, 2015). Bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Makin besar kosentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik di dalam air juga tinggi (Yudo 2010). Dengan kata lain, makin besar kadar BOD nya, maka disimpulkan bahwa perairan tersebut telah tercemar (Dewa, 2016). Seperti nilai BOD yang berada pada rentang 10-20 mg/L dapat mengindikasikan suatu pencemaran air tingkat sedang (Salmin, 2005).

 

Begitupun juga pada Industri Gula di Provinsi Jawa Timur, salah satu parameter BMAL (Baku Mutu Air Limbah) yaitu BOD diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 52 Tahun 2014 (Soekarwo, 2014) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 5 Tahun 2014 (Kambuaya, 2014). Nilai ambang batas BOD limbah cair dari industri gula ialah sebesar 60 mg/L. Oleh karena itu, bila kadar BOD melebihi ambang batas yang telah ditetapkan, maka perlu pengolahan ulang untuk meminimalkan tingkat BOD sebelum di limpahkan ke lingkungan.

 

Kali ini, penulis akan meninjau Limbah cair yang dihasilkan suatu Industri Gula di dua Kota yang berada di Jawa Timur yaitu Kediri dan Sidoarjo. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri gula secara umum dapat digolongkan menjadi limbah polutan yang berasal dari proses produksi dan jatuhan kondensor. Sebelum masuk kedalam unit IPAL, limbah cair harus diukur karakteristiknya pada bagian inlet. Kemudian didapatkan hasil yaitu nilai BOD pada tahun 2016 di PG. Kediri sebesar 319,71 mg/L dan di PG. Sidoarjo sebesar 102,69 mg/L. Sedangkan pada tahun 2017, nilai BOD di PG. Kediri sebesar 201,37 mg/L dan di PG. Sidoarjo sebesar 104,65 mg/L. Maing-masing memiliki nilai yang melebihi 60 mg/L. Hal ini tentu saja melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan pemerintah sehingga perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan kadar BOD.

 

Kemudian, setelah limbah cair tersebut diolah dalam IPAL lalu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala pada bagian outlet. Hasilnya, nilai BOD menurun dibandingkan ketika masih berada di inlet (sebelum diolah dalam IPAL). Pada tahun 2016, di PG. Kediri didapatkan nilai BOD sebesar 3,57 mg/L. Sedangkan di PG. Sidoarjo didapatkan nilai BOD sebesar 23,62 mg/L. Pada tahun 2017, nilai BOD limbah cair hasil industri gula di PG. Kediri sebesar 3,51 mg/L dan di PG. Sidoarjo sebesar 23,41 mg/L. Dapat dilihat bahwa nilai BOD bagian outlet di PG. Sidoarjo lebih tinggi 60% dibandingkan PG. Kediri. Nilai BOD pada tahun 2016 di PG. Kediri lebih rendah dibandingkan pada tahun 2017 sedangkan di PG. Sidoarjo sebaliknya. Meskipun demikian, kadar BOD sudah tidak melebihi ambang batas (≤ 60 mg/L) sehingga dapat dikatakan aman untuk di buang atau di alirkan ke lingkungan. BOD dipengaruhi oleh debit limbah cair. Berdasarkan data hasil observasi, diketahui bahwa besarnya debit limbah cair di PG. Kediri dan PG. Sidoarjo pada tahun 2016 berturut-turut sebesar 467,37 m3/hari dan 424,04 m3/hari. Sedangkan pada tahun 2017 berturut-turut sebesar 1533,96 m3/hari dan 1505 m3/hari.

 

C. Analisis COD

COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan-bahan organik secara kimia dalam air. Pengukuran nilai COD ini menunjukkan beban-bahan organik dan menjadi indikasi kondisi toxic (racun) yang terkandung dalam air limbah. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri Gula disebutkan bahwa kapasitas antara 2.500 sampai dengan 10.000 TCD kadar maksimum parameter COD air limbah proses, air limbah kondensor, dan air limbah abu ketel adalah 100 mg/L dengan beban pencemaran maksimum 50 g/ton. Sedangkan untuk parameter air limbah gabungan kadar maksimum parameter COD adalah 100 mg/L dengan beban pencemaran maksimum 150 g/ton. Untuk kapasitas lebih dari 10.000 TCD kadar maksimum parameter COD adalah 100 mg/L dengan beban pencemaran maksimum 50 g/ton.

 

Karakteristik limbah cair inlet sesuai ketentuan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 52 Tahun 2014 untuk parameter COD batas maksimum BMAL sebesar 100 mg/L. Sedangkan dalam jurnal nilai COD limbah cair di PG. Kediri dan PG. Sidoarjo memiliki nilai COD sebesar 540-1.200 mg/L dengan kandungan pencemar sebesar 6.400 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa limbah cair inlet melebihi batas ambang BMAL yang ditetapkan pemerintah. Karakteristik limbah cair outlet sesuai ketentuan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 52 Tahun 2014 untuk parameter COD batas maksimum BMAL sebesar 100 mg/L. Sedangkan dalam jurnal nilai COD PG. Sidoarjo lebih tinggi 600% dibandingkan PG. Kediri. Nilai COD PG. Kediri dan PG. Sidoarjo tahun 2016-2017 sebesar 12-99 mg/L. Hal ini menunjukkan nilai COD limbah cair outlet tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah. 

 

D. Analisis TSS

Total Padatan Tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat disaring dengan kertas milipore berpori-pori 0,45 µm. Materi yang tersuspensi memiliki dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 5 Tahun 2014 tentang BMAL dan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 52 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 72 Tahun 2013 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya disebutkan peraturan mengenai BMAL dari industri gula dengan kapasitas antara 2.500 - 10.000 TCD untuk parameter TSS (Total Suspended Solid) yaitu sebesar 50 mg/L (kadar paling tinggi). Dalam penelitian yang ada di jurnal disebutkan bahwa untuk parameter TSS memiliki nilai antara 80 - 314 mg/L selama tahun 2016 dan 2017.

 

Berdasarkan nilai TSS untuk karakteristik limbah cair inlet dengan parameter TSS untuk PG Kediri dan PG Sidoarjo yang sebesar 80-314 mg/L dalam tahun 2016-2017 melebihi ambang batas BMAL (Baku Mutu Air Limbah) yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 50 mg/L. Sedangkan untuk karakterisitik limbah cair outlet atau setelah melalui pengolahan limbah (IPAL), untuk parameter TSS telah memenuhi ambang batas BMAL yaitu sebesar 5-19 mg/L untuk PG Kediri dan PG Sidoarjo dalam tahun 2016 dan 2017. Nilai TSS di PG Kediri tahun 2016 dan 2017 lebih rendah dari PG Sidoarjo. Nilai TSS PG Kediri tahun 2017 meningkat 120% dari tahun 2016, dari 4,66 mg/L menjadi 11,03 mg/L. Sedangkan di PG Sidoarjo nilai TSS cenderung tetap hanya terjadi penurunan 0,8 mg/L. Hal ini berarti pada tahun 2017 PG Sidoarjo terjadi penurunan padatan yang dihasilkan dari proses pengolahan limbah di unit IPAL sebesar 0,008%.

 

E. Metode Penanggulangan

Pengolahan limbah cair di industri gula biasanya menggunkan metode fisika (primary treatment) dan metode biologi (secondary treatment) tanpa menggunakan bahan kimia tambahan. Limbah cair yang dihasilkan dari industri gula tidak mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) sehingga tidak memerlukan bahan kimia untuk menetralisirnya. Potensi pencemaran dari limbah industry gula hanya berupa tingginya nilai BOD (Biological Oxygen Demand), nitrogen, fosfor dan derajat keasaman (pH). Penggunaan metode fisika bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi serta minyak yang terkandung dalam air limbah. Sedangkan metode biologi bertujuan untuk menghilangkan bahan organic biodegradable Secara operasional, pengolahan limbah cair di industri gula dilakukan oleh Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sederhana yang terdiri dari ekualisasi, netralisasi, pra-sedimentasi circular, bak aerasi, secondary claridier dan sludge drying bed (Rhofita & Russo, 2019).

Siklus hidup di industry gula serta dampak dan pemafaatannya dapat dilihat pada gambar berikut.

Siklus hidup gula dimulai dari ekstraksi tebu hingga menjadi produk gula SHS. Dari gambar di atas menunjukkan bahwa setiap tahap pengolahan tebu menghasilkan limbah ataupun produk sampingan, limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui proses reuse maupun recyle sehingga limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan tersebut diantaranya, limbah cair hasil pengolahan IPAL akan dialirkan ke lebung yang akan dimanfaatkan untuk pengairan tanaman tebu, emisi dari boiler yang menghasilkan CO2 akan diserap kembali oleh tanaman tebu, serta pemanfaatan blotong sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu (Yani et al., 2012).

 

F. Efektifitas Kinerja IPAL di Industri Gula
Efektifitas dapat ditentukan dari nilai penurunan konsentrasi pencemar yang terkandung dalam limbah cair. Dalam hal ini tingkat penurunan karakteristik limbah dari inlet sampai ke outlet. Besarnya efektifitas kinerja IPAL di PG. Kediri dan PG. Sidoarjo ditunjukkan oleh Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai efektifitas di PG. Kediri lebih tinggi bila dibandingkan dengan PG. Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi BOD, COD dan TSS melalui pengelolaan limbah cair di unit IPAL berlangsung dengan baik dan sesuai dengan perencanaan alternatif pengolahan air limbahnya. Nilai efektifitas pengolahan limbah cair di PG. Sidoarjo berkisar antara 77 sampai 82% dan dapat digolongkan efektif. Tingkat keefektifitas kinerja IPAL di PG. Sidoarjo dapat dilihat dari penurunan konsentrasi pencemar dari inlet menuju outlet yang sesuai dengan ketentuan BMAL. Begitu pula pada tingkat efektifitas kinerja IPAL PG. Kediri rata-rata 98%.

 

Selain perbedaan konsentrasi BOD di inlet dan outlet yang lebih tinggi PG. Sidoarjo daripada PG. Kediri. Adanya perbedaan spesifikasi teknis (dimensi dan diffuser) kolam aerasi yang merupakan unit IPAL utama dalam pengolahan limbah secara biologis (secondary treatment) untuk air limbah. Selain dipengaruhi oleh periode aerasi efektifitas penurunan konsentrasi BOD juga ditentukan oleh kebutuhan suplai oksigen yang berasal dari blower. Kurangnya suplai oksigen akan menyebabkan mikroorganisme dalam kolam aerasi mati, sehingga akan terjadi kenaikan rasio Food on Microorganism (F/M rasio).

 

Efektifitas kinerja IPAL dalam menurunkan konsentrasi COD di PG. Kediri dan PG. Sidoarjo pada tahun 2016 dan 2017 berturut-turut sebesar 98,78; 98,16; 82,45; dan 82,23 (Tabel 6). COD menunjukkan seberapa banyak senyawa organik yang dapat dioksidasi secara kimia. Dalam air limbah konsentrasi COD menunjukkan ukuran tingkat pencemaran, semakin tinggi nilai COD kebutuah oksigen akan semakin tinggi, sehingga kandungan polutan dalam air limbah semakin tinggi. Efektifitas kinerja IPAL dalam menurunkan konsentrasi TSS di PG. Kediri pada tahun 2016 lebih tinggi 14% dari tahun 2017. Tahun 2016 nilai efektifitas sebesar 98,52% dan tahun 2017 sebesar 84,50%. Sedangkan nilai efektifitas kinerja IPAL dalam menurunkan konsentrasi TSS di PG. Sidoarjo pada tahun 2016 dan 2017 memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan PG. Kediri. 

 

Efektifitas penurunan TSS dipengaruhi oleh kinerja unit clarifier. Di industri gula unit clarifier digunakan untuk memisahkan lumpur dengan air limbah dengan cara mengendapkan air limbah secara gravitasi setelah air limbah diolah secara biologi pada kolam aerasi. Nilai efektifitas kinerja IPAL dalam menurunkan konsentrasi BOD, COD dan TSS PG. Kediri lebih tinggi 16% bila dibandingkan dengan efektifitas PG. Sidoarjo, sehingga perlu adanya pengkajian kinerja teknis IPAL secara berkala di kedua industri gula tersebut untuk meningkatkan kinerjanya.

 

G. Daftar Pustaka

Atima, Wa. 2015. BOD dan COD sebagai Parameter Pencemaran Air dan Baku Mutu Air Limbah. Jurnal Bilogy Science & Education. Vol 4, No. 1, pp. 83-94

 

Dewa, Riardi P. 2016. Penanganan Baku Mutu Kualitas Air Limbah Produksi ATC Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Ambon: Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

 

Kambuaya, B. (2014). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah. Hal. 1–85

 

Rhofita, Erry Ika. 2019. Efektifitas Kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Gula di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 20, No. 2, pp. 235-242

 

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal Oseana. 30: 21-26

 

Soekarwo. (2014). Peraturan Gubernur Jawa Timur No 52 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya. Hal. 1–15  

 

Yani, M., Purwaningsih, I., & Munandar, M. N. (2012). Penilaian Daur Hidup ( Life Cycle Assessment ) Gula Pada Pt Pg Rajawali Ii Unit Pg Subang Ikawati. Jurnal Agroindustri Indon1(1), 60–67

 

Yudo, S. 2010. Kondisi kualitas air Sungai Ciliwung di Wilayah DKI Jakarta Ditinjau Dari Parameter Organik, Amoniak, Fosfat, Deterjen dan Bakteri Coli. Jurnal Akuakultur Indonesia. 6: 34-42

 

H. Lampiran

 1. Pertanyaan Fabiola Caroline N. H NIM. K3318025

Pada website di dalam skema pengolahan limbah cair di industri gula terdapat closed lope system. Apa yang dimaksud dengan Clossed Lope System dan apa fungsinya?

Jawaban: 

Sistem lingkar tertutup (close loop system) merupakan sistem kontrol yang sinyal keluarannya mempunyai pengaruh langsung pada aksi pengontrolan, sistem kontrol lup tertutup juga merupakan sistem kontrol berumpan balik. Fungsi dari Clossed Lope System adalah saluran yang digunakan untuk memisahkan antara limbah cair industri dan yang bukan limbah cair. Untuk limbah cair industri (minyak oli, bocoran nira, dan air abu) akan diteruskan ke saluran yang menuju ke bak penangkap minyak bak buffer dan bak ekualisasi untuk diproses lebih lanjut. Namun, untuk limbah non cair akan dikembalikan lagi ke penampungan awal (sebelum masuk ke bak kontrol) atau dikeluarkan dari sistem IPAL.

2. Pertanyaan Azizah Nur P NIM K3318013

Bagaimana sebenarnya alur dari kinerja IPAL itu sehingga mampu dan efektif menurunkan kadarnya?

Jawab :

Limbah cair yang dihasilkan dari industri gula di PG. Kediri dan PG. Sidoarjo terdapat dalam empat jenis yaitu jatuhan minyak/oli, bocoran nira, air abu, dan air jatuhan kondensor. Alur kinerja IPAL atau skema pengolahan limbah cair pada industri gula ditunjukkan pada gambar 1.

 

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa keempat jenis limbah cair dialirkan melalui saluran pembuangan air limbah yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk menghindari pencampuran limbah yang akan mempersulit pengolahan. Dengan dilakukannya pengaliran yang berbeda-beda ini, pengolahan limbah dapat dilakukan dengan mudah dan tepat sehingga mampu menurunkan kadar pencemarnya. 

 3. Pertanyaan Anggie Lutfiyani NIM K3318005

Di presentasi kelompok 6 tadi ada menyebutkan periode aerasi, maksud dari periode aerasi itu apa? Apakah pada paper penelitian yang digunakan oleh kelompok 6 untuk penanganan air limbahnya menggunakan metode aerasi?

Jawaban :

Periode aerasi merupakan periode dimana limbah akan tertampung dalam kolam aerasi yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya degradasi material organik air limbah oleh bakteri anaerobik menjadi material yang lebih sederhana. Periode aerasi ini merupakan periode utama ketika pengolahan limbah cair secara biologis (secondary treatment) dalam IPAL. Dalam periode aerasi ini dibutuhkan supplai oksigen melalui diffuser dan nutrien yang berupa senyawa nitrogen serta fosfor dalam proses aerasi tersebut. Dalam paper penelitian ini, digunakan metode atau periode aerasi yang ditunjukkan dengan pengolahan limbah dalam kolam aerasi yang ada di PG Kediri dan PG Sidoarjo sebelum limbah cair tersebut masuk kedalam tahap clarifier yaitu tahap yang digunakan untuk memisahkan lumpur dengan air limbah dengan cara mengendapkan air limbah secara gravitasi.

 






Alternatif CFCs

Minggu, 27 September 2020

A. Pengantar

Klorofluorokarbon yang mudah menguap (CFC), senyawa terhalogenasi penuh buatan manusia memiliki masa hidup atmosfer yang sangat lama, yang terlibat dalam penghancuran lapisan ozon stratosfer pelindung bumi. Studi oleh Lovelock pada awal 1970-an menunjukkan bahwa ada konsentrasi trichlorofluorometana (CFC-ll)* di atmosfer bisa bertahan seumur hidup. Maliona dan Rowland 1974 menyatakan bahwa CFCs dan CF2Cl2 (CFC-11 dan CFC-12) mungkin selamat dari pengangkutan ke stratosfer dimana dipecah secara fitokimia melepaskan klorin yang kemudian akan mengkristalisasi kerusakan ozon. Molekul yang mengandung bromin (Halon), seperti CF3Br, diduga lebih berbahaya bagi lapisan ozon. CFC disebut juga penyumbang pemanasan global. 

 

Dalam rangka menyediakan pengganti yang memiliki kinerja serupa dengan itu CFC serta toksisitas rendah, industri telah berfokus pada pengembangan dan penilaian hidroklorofluorokarbon (HCFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). HCFC memiliki potensi penipisan ozon (ODP) yang jauh berkurang, dan HFC memiliki nol ODP dibandingkan dengan CFC. Konservasi dan pengganti yang mengandung nonfluorine adalah diharapkan dapat mengurangi konsumsi di tahun-tahun mendatang, tetapi aplikasi tertentu akan melakukannya membutuhkan penggunaan HCFC dan HFC. HCFC akan berfungsi sementara sampai pengganti HFC yang sesuai diidentifikasi. Senyawa utama yang terlibat dan nomor dalam sistem pengkodean internasional adalah sebagai berikut:

 

Kehadiran hidrogen dalam molekul pengganti ini mengurangi stabilitas ferik atmosfer. Hal ini memungkinkan degradasi mereka di bawah strato lingkungan, sehingga mengurangi ODPs mereka serta GWPs (potensi pemanasan global). ODPs dan GWPs relatif dari beberapa molekul target diilustrasikan pada Gambar 1. Potensi penipisan ozon (Ozone Depletion Potentials/ODP) didefinisikan sebagai rasio kondisi-mapan yang dihitung perubahan kolom ozon untuk setiap satuan massa gas yang diemisikan ke atmosfer relatif untuk penipisan yang disebabkan oleh emisi unit massa CFC-ll (CFCl3). Potensi pemanasan global (GWP) didefinisikan sebagai rasio perubahan fluks inframerah bersih kondisi yang dihitung yang memaksa di tropobola untuk setiap satuan massa halokarbon yang dipancarkan relatif sama untuk CFC-11. Tabel 1. Kurva tekanan uap telah ditentukan untuk sebuah angka pengganti ini dan beberapa contoh perwakilan ditunjukkan pada Gambar 2. 


B. Sintesis

A. 1,1,1, 2-Tetratluoroethane, CF3CH2F (HFC-134a)

Penambahan HF pada substrat olefin, halogenasi dan halogen pertukaran, isproporsionasi, klorofluorinasi, isomerisasi, dan hidrogenolisis merupakan sebagian besar reaksi berguna yang digunakan. 

 

A.1 Dari Trichloroethylene (TCE)

Rute menuju HFC-134a terdiri dari reaksi TCE dengan HF ke memproduksi CF3CH2C(HCFC-133a) diikuti dengan penggantian sisa klorin dengan fluor (Persamaan 1 dan 2). Proses katalitik fase cair dan uap bisa terjadi melalui langkah pertama, yang melibatkan penambahan HF awal melintasi ikatan rangkap diikuti oleh serangkaian reaksi pertukaran halogen. Campuran reaksi biasanya mengandung garam Sb (llI) dan Sb (V), dan klorin diumpankan ke reaktor baik secara terus menerus atau sebentar untuk mengoksidasi kembali sebagian besar antimon trivalen ke keadaan pentavalen. Karena itu, beberapa klorinasi ikatan CH yang tidak diinginkan terjadi.


Konversi fase uap TCE menjadi HCFC-133a telah dilakukan dengan menggunakan katalis berbasis kromium. Penggunaan oksida kromium tidak didukungTelah dilaporkan, kromium 12 dan trivalen didukung pada karbon aktif, serta krom garam yang didukung pada alumina. HF yang berlebih diperlukan untuk konversi HCFC-133a menjadi HFC-134a yang memadai (Persamaan 2). Berbagai hipotesis telah dikemukakan, seperti hilangnya HF dari bahan awal dan produk untuk menghasilkan olefin, yang pada akhirnya mengarah pada pembentukan kokas.

 

Penambahan oksigen dalam sistem etana menyebabkan klorinasi baik bahan awal maupun produk karena Deacon yang terkenal kimia untuk memproduksi klorin. Hal ini terutama berlaku untuk sistem berbasis krom, yang juga telah digunakan untuk oksidasi HCI menjadi klorin dan air. Garam logam yang didukung pada alumina, dan diolah dengan HF pada suhu tinggi sebelum digunakan, telah diungkapkan. Aliran produk dari reaksi HCFC-133a dan HF mengandung sejumlah kecil olefin, seperti CF2 = CHCI. Berbagai metode dapat digunakan, satu proses yang melibatkan pengolahan dengan permanganat berair.

 

 A.2 Dari Tetrachloroethylene (Perchloroethylene, PCE)

PCE diklorinasi in situ untuk menghasilkan heksakloroetana, yang kemudian bereaksi dengan HF dalam fase cair menggunakan katalis berbasis antimon konvensional (biasanya antimon pentahalides), atau dalam fase uap menggunakan sistem berbasis krom, awalnya untuk menghasilkan CF2CICFCl2 (CFC-113) dan atau CF2ClCF2Cl (CFC-114) (Persamaan 3-5). Proses fase cair umumnya beroperasi pada suhu yang lebih rendah dari 160 ° C sedangkan sistem fase uap menggunakan suhu yang berkisar dari 250-400 ° C. Beberapa pengacakan halogen memang terjadi, terutama dalam proses fase uap, menghasilkan spesies isomer (Persamaan 6 dan 7).

CFC-113a yang diproduksi diolah dengan HF baik dalam fase cair maupun uap untuk menghasilkan CFC-114a. Sebagai alternatif, CFC-114 dapat diisomerisasi menjadi CFC-114a, melalui proses fase cair atau uap. Jelas, proses yang mampu menghasilkan CFC-114a langsung dari PCB tanpa formasi CFC-114 akan diinginkan. Aluminium fluorida tanpa tambahan ko-katalis telah terbukti menjadi katalis yang baik untuk konversi PCB menjadi CFC-114a; tetapi beberapa CFC-114 masih diproduksi. Selain HFC-134a, proses tersebut juga menghasilkan CF3CHFCl (HCFC-124) dan CF3CH3 (HFC-143a). Temperatur pengoperasian sekitar 120° C hingga 420°C telah dilaporkan, dengan berbagai rasio hidrogen-substrat. Selektivitas tinggi untuk HFC-134a telah dibuktikan. Tidak seperti CFC-114a, isomernya (CFC-114) jauh lebih reaktif pada suhu sedang (sekitar 150-250°C), dan bahkan ketika ia bereaksi, produk dengan hanya satu klorin diganti dengan mudah diperoleh.

Paladium bukanlah katalis unik, karena logam lain yang diungkapkan untuk kimia ini termasuk rodium, tungsten karbida, dan renium serta kombinasinya dengan logam lain. Sebaliknya, dengan proses hidrogenasi yang dikatalisasi logam mulia, proses suhu tinggi yang beroperasi pada 400-600°C di atas karbon aktif juga telah dilakukan.terbukti menghasilkan selektivitas yang baik untuk produksi HFC-134a. Produk sampingan HCFC-124 yang diamati dalam hidrogenolisis CFC-114a (Persamaan 9) dapat diubah menjadi HFC-134a. 

 

A.3 Pendekatan Lainnya

Dari alternatif dua pendekatan utama untuk HFC-134 yang baru saja dijelaskan, beberapa memiliki potensi untuk pengembangan komersial dan beberapa metode yang berguna untuk produksi skala kecil. Pendekatan dua langkah dari CFC-113 seperti yang diuraikan dalam Persamaan. (10) dan (11) adalah kemungkinan komersial yang menarik. Namun, sistem katalitik spesifik harus dikembangkan untuk tahap pertama (Persamaan 10) karena, dalam praktik normal, CFC-113 memberikan klorotrifluoroetilen (ClFE) daripada trifluoroetilen yang diinginkan (Persamaan 12).

 

Alternatifnya, ClFE tersedia dari deklorinasi seng yang mapan dari CFC-113 (lihat Bab 15) dapat digunakan sebagai bahan awal. Rincian penambahan HF ke trifluoroethylene (Persamaan 11) menggunakan kromium oxyfluoride sebagai katalis, terutama pada suhu dalam kisaran 60-180°C, telah diungkapkan. Metode yang tampaknya cocok untuk produksi skala kecil HFC-134a termasuk klorin -untuk-pertukaran fluor di CF3CH2CI (HCFC-133a) menggunakan alkali-metal fluorida (KF, CsF) dalam sistem pelarut aprotik air atau dipolar pada suhu tinggi atau reagen antimon pentafluorida tipe Swarts yang kuat. Sejujurnya, reaksi antara HCFC-133a dan SbF5 telah dilaporkan menghasilkan pentafluoroetana dan HCFC-124 (CF3CHFCI) selain produk yang diinginkan; beroperasi pada suhu yang lebih rendah mungkin menawarkan beberapa keuntungan. Fluorinasi langsung monomer vinilidena fluorida komersial (CF2 = CH2 + F2  + CF3CH2F), sementara secara komersial tidak menarik menurut standar ekonomi saat ini, menawarkan sintesis langsung yang menarik dari HFC-134a.


B. 2,2-Dichloro-1,1,1-Trifluoroethane, CF3CHCl2 (HCFC-123)

Untuk HCFC-134a, beberapa rute ke HFC-123 telah diusulkan dan diringkas dalam Gambar 3. Meskipun reaksi yang sama terkait dengan produksi HFC-134a terlibat, katalis dan variabel proses tampaknya tidak begitu ekstensif.

 

B.1 Dari Perchloroethylene (PCE)

Sintesis langsung HCFC-123 dapat dicapai melalui reaksi katalisis PCE dengan HF, baik dalam proses fase cair atau uap. Penambahan HF melintasi ikatan C = C dalam PCE (CFCl2CHCl2), diikuti oleh pertukaran halogen untuk menghasilkan diklorotrifluoroetana yang lebih stabil secara termodinamika (CF3CHCl2 versus CF2ClCHFCl). Keunggulan proses fase cair menggunakan garam tantalum karena kestabilan pentavalen spesies tantalum. Hal ini menghilangkan kebutuhan untuk umpan bersama klorin yang dibutuhkan dengan katalis antimon, dengan demikian dapat menjaga hidrogen dalam produk. Keberhasilan proses fase uap telah dikaitkan dengan efek menguntungkan dari katalis alumina berfluorinasi tinggi. Beberapa kelebihan fluorinasi memang terjadi, menghasilkan CF3CHFCl (HCFC-124) dan CF3CHF2 (HFC-125). Chromium (III) oksida sendiri atau yang didukung pada alumina juga merupakan katalis yang sesuai, tetapi cenderung menghasilkan lebih banyak produk fluorinasi berlebih karena aktivitas katalitiknya yang lebih besar.

Bahkan dalam proses fase cair konvensional yang menggunakan PCE, Cl2, dan HF untuk menghasilkan CFC-113, sejumlah kecil HCFC-123 diproduksi sebagai produk sampingan. Sejumlah kecil isomer CF2ClCHFCl (HCFC-123a) yang secara termodinamika kurang stabil juga telah diamati. Produk yang mengandung hidrogen ini muncul dari persaingan penambahan HF versus klorinasi PCE sebagai langkah awal dan pertukaran halogen berikutnya.

Pendekatan kedua (Gambar 3) dari PCE mengikuti sintesis CFC-113 dan isomerisasinya menjadi CFC-113a. Ini kemudian mengalami hidrogenolisis sepanjang garis yang dilaporkan untuk CFC-114a. Platina pada karbon, dan berbagai logam lain seperti Rh, Ir, Pd, atau Re pada substrat tersebut sebagai karbon dan alumina, dilaporkan memberikan selektivitas yang baik untuk produk yang diinginkan. Umumnya, suhu yang lebih lembut digunakan karena bagian diklorometil sensitif terhadap hidrogenolisis lebih lanjut. Produk hidrogenolisis ikatan C-Cl lebih lanjut, yaitu HCFC-133a (CF3CH2Cl) dan HFC-143a (CF3CH3) diamati variasi derajat. Selain hidrogenolisis katalitik, teknik reduksi stoikiometri juga dimungkinkan. Sebagai contoh, pengurangan CFC-113a dalam pelarut protik seperti metanol dengan adanya garam logam, pada suhu kamar, dilaporkan mampu menghasilkan selektivitas yang sangat baik untuk HCFC-123. Reduksi dengan Na2SO3 encer atau seng dalam pelarut protik juga telah dijelaskan. Metode ini tampaknya menarik untuk sintesis skala kecil. Pembuangan limbah akan menjadi perhatian dalam aplikasi skala besar kecuali skema daur ulang yang sesuai dapat dikembangkan. 

 

B.2  Dari Trichlorethylene (TCE)

Pendekatan berdasarkan TCE melibatkan persiapan awal HCFC-133a (CF3CH2Cl). Klorinasi baik ada maupun tidaknya garam logam telah dilaporkan; suatu varian melibatkan pembentukan klorin in situ bersama O2, HCl, dan HCFC-133a melalui katalis Deacon nikel-pada-alumina pada suhu tinggi. Klorinasi fotokimia dari HCFC-133a dengan selektivitas tinggi terhadap HCFC-123 dan klorinasi berlebih minimum terhadap CFC-113a juga telah dilaporkan. Keuntungan dari suhu rendah atau fotoklorinasi adalah produksi hanya satu dari isomer, yaitu HCFC-123, dengan sedikit kemungkinan untuk isomerisasi. Gugus trifluorometil tampaknya stabil dalam kondisi ini.

 

B.3 Metode Lain-lain

Ekuilibrasi berbagai substrat dapat menjadi metode yang berguna asalkan mempunyai selektivitas tinggi untuk HCFC-123 yang diinginkan dapat diperoleh. Misalnya, HCFC-123 terbentuk ketika campuran CF3CCl3 dan CF3CH2Cl (HCFC-133a) dilewatkan di atas kromium oksida pada suhu tinggi. Jika HCFC-123a (CF2ClCHFCl) tersedia dari proses tertentu, ia dapat diisomerisasi menjadi HCFC-123, misalnya, melalui kontak dengan alumina atau aluminium klorida dalam kondisi yang sesuai (diperlukan perlakuan awal katalis dengan bahan yang mengandung halogen organik seperti CFC-113).

 

C. 2-Chloro-1,1,1,2-Tetrafluoroethane, CF3CHFCl (HCFC-124)

Metode yang telah dijelaskan untuk konversi PCE menjadi HCFC-123 atau HFC-134a melibatkan pembentukan HCFC-124 sebagai produk sampingan. Optimalisasi proses tersebut untuk memaksimalkan produksi HCFC-124 dan pengembangan sistem katalitik baru telah menjadi fokus perhatian. Sebagai contoh, prekursor katalis garam-pada-alumina kobalt, dengan fluor sebelum digunakan, telah dilaporkan menghasilkan sangat sedikit HFC-125, yang sebagian besar menghasilkan HCFC-123 dan HCFC-124 dari PCE. Katalis kromium (ll) oksida konvensional yang tidak didukung bervariasi dalam aktivitasnya tergantung pada metode pembuatan. Banyak sistem lain. Hidrogenolisis CFC-114a menjadi HFC-134a menghasilkan HCFC-124 dalam jumlah kecil (Persamaan 9); jika HCFC-124 adalah perantara yang sebenarnya, mungkin hasilnya dapat ditingkatkan melalui modifikasi katalis. Sebuah metode kimia stoikiometri yang melibatkan pengurangan CFC-114a dengan amalgam alkali-metal, serta metode elektrolitik untuk preparasi hasil-tinggi satu langkah dari HCFC-124, telah dilaporkan. Reaksi CF2=CFCl (CTFE, dari deklorinasi CF2ClCFCl2) dengan HF dengan adanya katalis krom oxyfluoride pada prinsipnya dapat menghasilkan HCFC-124.

 

 D. Pentafluoroethane, CF3CHF2 (HFC-125)

Prosedur sintetik yang telah dikembangkan untuk HCFC-123 (Gambar 3), terutama yang dimulai dari PCE, juga dapat digunakan untuk sintesis HFC-125. Penambahan HF awal di seluruh ikatan rangkap PCE, diikuti dengan pertukaran semua klorin, menghasilkan HFC-125 (Persamaan 15); dan jjika HCFC-123 dan HCFC-124 tersedia, mereka dapat digunakan sebagai titik awal. Jika ini tidak memungkinkan, PCE dapat diolah dengan Cl2 dan HF untuk menghasilkan kloropentafluoroetana (CFC-115) diikuti dengan hidrogenolisis ikatan C-Cl (Persamaan 16 dan 17).

Seperti disebutkan sebelumnya, katalis kromium (ll) oksida tampaknya jauh lebih efektif untuk penambahan HF dan pertukaran halogen. Perhatikan bahwa metode pembuatan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas katalis yang dibuat dengan pengolahan uap kromium hidroksida sebelum kalsinasi lebih aktif daripada yang dibuat tanpa perlakuan awal ini, dan konversi PCE yang signifikan menjadi HFC-125 telah diklaim pada suhu operasi di atas 300 DC. Teraktivasi serupa, kromium oksida anhidrat serta gel kromium (II) oksida menunjukkan selektivitas tinggi terhadap HFC-125. Katalis semacam itu juga berguna untuk klorofluorinasi PCE menjadi CFC-115. Rincian hidrogenolisis termal CFC-115 (Persamaan 17) pada logam platinum, logam besi, atau renium telah diungkapkan. Reaksi HF dengan tetrafluoroethylene atau chlorotrifluoroethylene di atas chrome oxyfluoride pada suhu tinggi merupakan pilihan untuk sintesis HFC-1253°; gel chromium (III) oksida dikatakan cukup efektif untuk konversi CTFE menjadi HCFC-125. Yang menarik untuk pekerjaan skala kecil adalah reaksi trifluoroacetaldehyde dengan SF4 atau dialkylamino trifluoride, reagen terkenal mempengaruhi konversi C = O → CF2

 

E. 1,1·Dichloro-1-F1uoroethane, CFCl2CH3 (HCFC·141b)

Dua rute langsung tersedia untuk sintesis HCFC-141b, satu melibatkan pertukaran halogen (Persamaan 18) dan penambahan HF lainnya melintasi ikatan C-C (Persamaan 19). Reaksi fase cair HF dengan metil kloroform (CH3CCl3) dengan adanya tantalum halida dilaporkan menghasilkan HCFC-141b dengan selektivitas yang baik. Overfluorinasi dengan melanjutkan penggantian klorin di atas katalis aktif merupakan reaksi yang bersaing. Misalnya, pada 100°C dengan adanya MoO3, CH3CClF2 (HCFC-142b) adalah produk utama. Reaksi fase cair serupa menggunakan garam timah atau senyawa organotin bersama dengan senyawa yang mengandung oksigen juga telah diklaim menghasilkan hasil yang dapat diterima dari HCFC-141 b. Proses pertukaran halogen nonkatalitik melibatkan CH3CCl3 dan HF pada suhu di atas 100°C telah dijelaskan; baik HCFC-141b dan HCFC-142b dapat diproduksi, tingkat overfluorinasi tergantung pada waktu tinggal. Faktanya, dalam beberapa proses tersebut, kondisi operasional dapat bervariasi untuk menghasilkan HCFC-142b, serta HFC-143a dengan pertukaran halogen berturut-turut.

Penambahan HF ke vinilidena klorida menurut Persamaan. (19) memberi HCFC-141b tanpa produk sampingan HCl. Proses seperti itu menggunakan aluminium fluorida sebagai katalis dan beroperasi pada suhu 50--120 ° C dalam fase uap telah dilaporkan. 

 

F. 1,1·Difluoroethane, CHF2CH3 (HFC·152a)

F.1. Dari Asetilen

Rute paling langsung ke HFC-152a adalah penambahan HF ke asetilena (Persamaan 20). Baik proses fase cair maupun fase uap tersedia. Banyak sistem katalitik dan perbaikan proses telah dilaporkan.


Reaksi fase cair asetilena dengan HF di bawah tekanan dengan adanya BF3 atau FSO3H pada suhu rendah menghasilkan HFC-152a dengan selektivitas tinggi; penggunaan FSO3H-SbF5 untuk meningkatkan penambahan HF pada 25 ° C juga memberikan selektivitas produk yang sangat baik. Untuk mengatasi kehilangan katalis, ketika BF3 digunakan, KBF4 dapat digunakan. Dengan katalis ini, reaksi biasanya dilakukan dengan adanya FSO3H atau selektivitas produk tinggi asam perfluoroalkanesulfonat diklaim. Proses fase uap berdasarkan asetilena beroperasi pada kisaran suhu yang luas, yaitu sekitar 300 DC. Operasi suhu tinggi cenderung menghasilkan vinil fluorida dengan hilangnya HF dari produk yang diinginkan. Misalnya reaksi asetilen dengan HF di atas AlF3 menghasilkan HFC-152a sebagai produk utama di bawah 275 ° C sedangkan vinil fluorida adalah produk utama pada 307 ° C. Katalis yang sangat aktif yang mengandung pseudoboehmite, H3B03, dan secara opsional Fe2O3 yang beroperasi pada suhu maksimum 262 ° C telah dilaporkan memberikan hasil yang sangat baik dari HFC-152a.

 

F.2. Dari Vinil Klorida

Reaksi vinil klorida dengan HF menghasilkan HFC-152a (Persamaan 21) telah dijelaskan oleh beberapa peneliti. Untuk proses fase uap, alumina berfluorida atau aluminium fluorida yang mengandung garam logam lain telah banyak digunakan. Kromium (lll) oksida yang didukung pada aluminium fluorida atau alumina telah terbukti menjadi katalis yang sangat baik, dan vanadium triklorida yang didukung pada karbon aktif, serta penggunaan uap yang bermanfaat sebagai umpan bersama, juga telah dianjurkan. Prosedur fase cair dengan adanya SnC4 sebagai katalis dan distilasi produk dengan adanya HF anhidrat telah dilaporkan menghasilkan HFC-152a bebas dari vinil khlorida.

 

F.3. Metode Lainnya 

Kedua isomer dikloroetana telah diubah menjadi HFC-152a dengan HF dalam proses fase cair dan uap. Fluorinasi fase cair 1,1-dikloroetana dengan adanya SbCl5 atau SbF5 pada -10 hingga 15 ° C dilaporkan memberikan hasil yang baik dari HFC-152a. Reaksi fase uap 1,2-dikloroetana dengan HF di atas kromium (lll) oksida juga dapat menghasilkan selektivitas yang baik untuk HFC-152a, tampaknya melalui urutan eliminasi-penambahan-substitusi.

 

G. Dichloropentafluoropropanes

Dua isomer posisi spesifik C3HF5Cl2 telah mendapat perhatian sebagai pengganti potensial untuk CFC-113 dalam aplikasi pelarut dan pembersihan, yaitu, CF3CF2CHCl2 (HCFC-225ca) dan CF2CICF2CHFCI (HCFC-225cb). Kedua isomer ini dapat diproduksi dengan rasio 3: 2 masing-masing melalui reaksi Prins tetrafluoroethylene dengan CHFCl2 (HCFC-21) pada suhu 15°C dengan adanya aluminium klorida. Pertukaran halogen fase cair TaF5 yang dikatalisis antara HF dan C3HCl7 juga dilaporkan menghasilkan campuran produk yang mengandung dua di atas isomer.

 

C. Aspek Komersial

Produksi alternatif untuk CFC yang dibahas disini tidak tersedia. Banyak peruasahaan yang telah merencanakan untuk komersalisasi alternatif CFC khususnya HCFC-141b, HCFC-123, dan HFC-134a. Pabrik utama untuk produksi HFC-134a ditugaskan di AS (DuPont) dan Inggris (ICI) pada akhir 1991. HFC-152a telah tersedia secara komersial sejak 1964Program untuk Toksisitas Fluorokarbon Alternatif Pengujian (PAFTT) pada HFC-134a, HCFC-123, HCFC-141b, HCFC-124, HFC-123, dan HCFCs-225ca dan cb melibatkan banyak perusahaan dari berbagai negara. Untuk HCFC-123 Du Pont telah mengadopsi sebuah AEL (Acceptable Exposure Level) sebesar 30 ppm. Program kooperatif serupa yaitu Alternative Fluorocarbon Environmental Acceptability Study (AFEAS) bertujuan untuk menilai bagian lingkungan dari alternatif CFC, khususnya dampak terhadap lapisan ozon, pemanasan global, dan hujan asam. 

 

D. Properti

Data properti fisik untuk beberapa alternatif yang sedang dikembangkan tercantum dalam Tabel 2. Studi tentang sifat termodinamika HFC-134 telah diterbitkan dan informasi tentang HCFC-123 dan HFC-152a juga tersedia. Umumnya, ini senyawa adalah cairan atau gas tak berwarna yang titik didihnya berkurang dengan meningkatnya konten fluor, seperti CFC. Sampel komersial biasanya hanya berisi :

Jejak air (kurang dari 10 ppm) dan tidak ada keasaman yang terdeteksi. Mereka membentuk azeotrop dengan organik lain seperti alkohol, keton, halo-olefin, CFC, HCFC, dan HFCS. Umumnya mereka kurang stabil dibandingkan CFC, sebuah fitur desain untuk memastikan umur atmosfer yang lebih pendek dibandingkan dengan CFCDengan adanya hidrogen dalam molekul, reaksi eliminasi dapat menghasilkan olefin dan terjadi dalam situasi kimia yang lebih konvensional. Pengujian toksikologi pada beberapa pengganti ini sedang dilakukan dan beberapa dari mereka menunjukkan hasil awal yang menjanjikan.

 

E. Penerapan

A. Pendingin

Penerapan terbesar dari alternatif ini terdapat dalam pendinginan dan AC. Lemari es dan hampir semua AC mobil menggunakan CFC-12 (CF2Cl2) sebagai refrigeran. Alternatif utama adalah HFC-134a; HFC-125 juga telah dipertimbangkan dalam penerapan dimana suhu lebih rendah dan pemulihan cepat diperlukan. Untuk sementara HFC-134a adalah pengganti yang dapat diterima, ini bukan pengganti drop-in untuk CFC-12 dalam AC mobil. Campuran pengganti seperti HCFC-22 (CHF2Cl), HCFC-l24, dan HFC-152a atau HCFC-22, CFC-114a, dan HFC-152a juga sedang diuji untuk penerapan ini. Campuran tersebut disesuaikan untuk memberikan properti yang diinginkan. Hal tersebut memungkinkan senyawa sedikit mudah terbakar. CFC-11 (CFCl3) telah menjadi material pilihan dalam industri pendingin. Alternatif yang diusulkan adalah HCFC-123 yang berfungsi sebagai pengganti sementara karena mengandung klorin sampai pilihan material lain diidentifikasi.

 

B. Agen Berbusa

Busa plastik kaku memiliki struktur seluler yang terbuat dari bahan kimia atau tindakan fisik dari zat peniup (berbusa). Busa polyurethane dan polyisocyanurate diproduksi dengan menggunakan CFC-11 sebagai bahan peniup yang tetap terperangkap dalam busa. Pengganti yang diusulkan untuk pembuatan busa antara lain: HCFC-123, HCFC-141b, dan HCFC- 22. Busa termoplastik berasal dari polystyrene digunakan dalam berbagai penerapan seperti karton telur, nampan daging, gelas sekali pakai dan nampan. Tidak seperti busa polyurethane, busa ini mengandung sangat sedikit zat peniup. CFC-12 umumnya telah digunakan sebagai agen peniup dalam penerapan ini. Jadi alternatif yang disarankan untuk penerapan ini adalah HCFC-124, HCFC-22, HCFC-142b, HFC-134a, dan HFC-152a.

 

C. Pelarut

Penggunaan terbesar CFC-113 (CF2CICFCl3) dan metil kloroform (CH3Cl3) telah terjadi di area pembersihan dan degreasing logam. Selain itu, juga digunakan dalam berbagai penerapan seperti penghapusan fluks solder, pengeringan papan sirkuit tercetak, degreasing semi konduktor, dan cat serta formulasi aerosol. HCFC-141b dan HCFC-123, serta campuran dan azeotropnya, telah diusulkan untuk memenuhi beberapa aplikasi. Baru-baru ini, HCFCs-225 ca dan cb telah diusulkan sebagai kemungkinan pengganti CFC-113. Semua pengganti yang diusulkan untuk penerapan ini masih mengandung klorin dan karenanya hanya bersifat sementara sampai ditemukan pengganti yang lain.

 

 

 

 


 

 

 


 

 

 

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS